Minggu, 30 Mei 2010

Ketika Bidadari Itu Pergi



Sejak malam itu, ketika lumpur menyembur dan menenggelamkan kampungku yang damai, Ibu tak lagi menceritakan dongeng-dongeng yang biasa ia ceritakan sebelum aku terlelap tidur. Tentang bidadari-bidadari yang selalu menjaga padi yang tumbuh di sawah-sawah kampung kami.
"Mereka tak akan pergi sebelum padi-padi itu menguning" kata ibu.
Juga tentang dewi-dewi khayangan yang turun ke bumi dan mandi di sungai yang bening di belakang rumah kami. Menari-nari di bawah sinar rembulan yang berkabut dan mengelilingi bumi sebelum mereka kembali ke surga.

Sesekali, pernah ibu menceritakan kepadaku tentang Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya. Itupun hanya sekali saja. Karena aku terlau asyik bermain bola atau sekedar melambungkan layang-layang di lapangan yang tak jauh dari rumah hingga sore sekali dan membuatku lupa waktunya untuk segera mandi. Hanya sekali di sebuah malam, ibu mendongengkan Malin Kundang itu. Mungkin agar aku tak nakal lagi. Dan setelahnya, akupun segera berjanji akan menjadi anak yang baik.

"Aku tak ingin menjadi batu Bu…."pintaku sambil berbaring di pangkuannya.
Ibu mengelus rambutku dengan lembut. Dan setelah itu ibu tak pernah menceritakan tentang anak durhaka itu lagi.

"Apa bidari-bidadari itu masih di sana dan menjaga sawah-sawah di kampung kita Bu?" tanyaku keesokan harinya.
Sejenak ibu diam dan menatapku. Lalu kembali mengaduk panci berisi beras yang dibagikan oleh posko-posko bantuan di pengungsian. Ya....pengungsian. Kami tinggal disini sejak bencana pengeboran minyak itu bocor dan memuntahkan amarahnya. Lumpur menyembur, dan perlahan menenggelamkan kampung kami, kehidupan kami. Mengusir bidadari yang biasa ibu ceritakan kepadaku.

Seketika itu, perlahan tapi pasti semuanya berubah. Kehidupan orang-orang kampung kami yang dulu guyub, kini telah tiada. Kampung kami tiba-tiba menjadi sepi. Begitu sunyi. Kegiatan orang-orang pemerintahan di balai desa mati. Juga kegiatan ekonomi masyarakat di kampungku. Tak ada lagi anak-anak kecil berlarian di jalan-jalan. Tak terdengar lagi riuh ibu-ibu ngerumpi di pojok gang seraya menunggu penjual sayur yang lewat.
*********

 Aku menghampiri Susi setelah ujian sekolah selesai. Disini. Dipengungsian ini. Ia sibuk memain-mainkan bonekanya. Wajah cantiknya kelihatan sedih. Susi menatapku setelah mendengar langkah kakiku mengahampirinya. Matanya sembab berkaca-kaca sampai-sampai aku bisa melihat bayanganku di kedua matanya. Itu yang biasa kulihat setiap hari. Setiap malam dan pagi.

"Ujian di tempat terbuka enak ya. Bisa sambil tiduran" hiburku. Dan ia masih diam saja. Masih sedih saja.
Beberapa orang dari lembaga yang aku lupa namanya, mencoba menghibur kami. Dengan perlombaan yang sengaja dibuat khusus untuk kami. Untukku, Susi, Putri, Fauzan juga untuk anak-anak yang lain di pengungsian ini. Mereka seolah-olah benar-benar menyayangi kami. Seolah-olah mengerti apa yang kami rasakan. Keluguan kami justru menghibur mereka.

Jelas mereka tak mengerti mengapa aku mewarnai langit dengan warna kelabu dalam lomba mewarnai kemarin, juga sungai dan sawahnya.
Tak ada yang seperti dalam cerita yang biasa ibu dongengkan seperti malam itu.
"Tak ada gambar bidadari di sana"
"Apa bidadari-bidari itu telah kembali ke surga dan tak akan kembali lagi ke kampung kita?", tanya susi pelan.
"Apa kita punya salah sehingga bidadari-bidadari itu kembali ke surga? Dan apa kampung kita sudah seperti neraka buat mereka sampai-sampai mereka tak mau menjaganya lagi?".

Aku tak menjawab pertanyaannya, sementara puluhan pertanyaan yang tak mampu kujawab sendiri, terus menggelinding seperti bola sepak yang biasa aku tendang di lapangan dulu.
Apakah semua ini akibat kesalahan kami. Kepada Tuhan mungkin?! Atau keserakahan mereka pada alam, sehingga alam menjadi marah? Atau………………….

Ach…mungkin aku terlau kecil untuk bisa memahami semua yang terjadi. Mungkin juga tak dipahami oleh Susi, Putri, Fauzan juga oleh anak-anak lain di pengungsian ini. Mengapa bidadari penjaga itu pergi. Mengapa tiba-tiba pasar yang belum ditempati ini menjadi ramai sekali. Bukan oleh penjual atau pembeli, tapi oleh orang-orang seperti kami yang mereka anggap seperti barang dagangan.
"Aku benar-benar tidak mengerti".

Orang-orang datang beramai-ramai disini. Seperti ada tontonan baru yang dijadikan tempat untuk rekreasi. Ada yang jalan kaki, ada yang membawa gerobak, ada yang membawa mobil warna-warni. Hitam, biru, hijau, kuning. Aku pernah bermimpi menaikinya. "Bagus sekali, seperti warna bendera di jalan-jalan yang dipasang sebelum pemilu", pikirku.

Pakaiannya juga rapi-rapi. Orang-orang yang lain menyambutnya dengan wajah sumringah. Ada yang membukakan pintu mobil untuk orang-orang itu, seperti hendak menawarkan barang. Lalu mereka turun dari mobil bergantian. Duduk-duduk dan berkumpul, ngobrol-ngobrol lalu melepas tawa.

"Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan". Aku benar-benar tak mengerti.
Mereka lalu berkeliling melihat blok-blok yang kami tempati. Wajahnya ceria, dan selalu tersenyum. Aku pernah melihat beberapa dari mereka di tivi.

Tak lama, mereka kelihatan lelah sekali setelah berputar-putar. Lalu berkumpul dan duduk-duduk lagi. Ngobrol-ngobrol lagi. Lalu tertawa lagi. Aku masih tak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan.
"Kita tidak usah bersedih lagi. Uang akan segera kita bagikan". Tiba-tiba wajahnya menjadi lucu sekali. Dan benar-benar menghibur kami disini.
Seperti membeli barang dagangan yang mereka inginkan, setelah itu mereka pergi. Pakaiannya masih tetap rapi dan membawa kembali mobil yang warna-warni itu kembali. Mereka benar-benar pergi. Melewati jalanan kota yang berdebu. Keesokan harinya, rombongan yang lain datang lagi. Begitu yang aku lihat setiap hari.
*******

Sepertinya bidadari-bidadari yang pernah ibu ceritakan telah pergi meninggalkan kampung kami. Berganti kisah pilu berhias tangis yang malah membawa kesibukan sendiri buat orang-orang yang biasanya duduk-duduk di kursi empuk di kantor-kantor mereka. Memaksa mereka untuk lebih dekat melihat kami. Mereka kelihatan lebih berguna. Aku masih tak mengerti apa yang mereka inginkan.

Semuanya kembali lengang. Beberapa orang masih terlihat berkumpul di sudut-sudut pengungsian. Duduk, ngobrol-ngobrol dan tertawa. Ada juga yang menata mimik wajahnya sedemikian rupa menyerupai wajah-wajah kami. Dan aku tak mengerti apa yang mereka lakukan. Mungkin juga tak dimengerti oleh Susi, Putri, Fauzan juga oleh anak-anak lain di pengungsian ini.
***********

Ketika bidadari-bidadari itu pergi. Langit gelap pun mulai menghampiri dan melengkapi kesunyian kami. Kembali aku berbaring di pangkuan ibu.
"Sampai kapan semua ini berakhir bu? Aku ingin segera pulang."
Ibu hanya diam sembari mendekap tubuhku. Pertanyaan itu membuat tangan lembutnya mengelus rambutku. Sejenak ia menatapku dengan mata yang mengguratkan kesedihan. Aku masih terjaga ketika azan Subuh masih di telinga. Mataku tak bisa terpejam. Mungkin Susi, Putri, Fauzan dan anak-anak yang lain juga. Karena merasa tak pasti sampai kapan berada di sini.

Aku juga tak mengerti. Sungguh tak mengerti apakah aku harus bersedih atau justru senang dengan semua ini. Tapi aku tetap ingin semua ini segera berakhir. Mungkin kalau semua ini tidak segera berakhir, Sumber Porong akan sesak terisi orang-orang yang hanya menunggu harapan-harapan dari ketidak pastian seperti kami.

"Apa bidari-bidadari itu masih di sana dan menjaga sawah-sawah itu?" pertanyaan itu terus saja muncul ketika ingatanku membawa kerinduanku pada kampungku yang damai, juga rasa rinduku pada Susi, Putri dan juga  Fauzan.  Sementara belum juga aku temukan jawaban itu dari siapapun.

Empat tahun berlalu, aku masih menunggu bidadari itu datang kembali. Kembali menemani cerita pengantarku sebelum terlelap tidur. Begitu juga Susi, Putri dan Fauzan. Tapi aku yakin, bidadari itu pasti akan datang. Membawa pesan dari surga. Mengembalikan semuanya, mengembalikan harapan-harapan kami. Mungkin esok, atau lusa. Aku tak akan pernah berhenti berharap dan bermimpi, tentang bidadari itu kembali......
***********













Cerita ini adalah kisah mereka yang nyata, mimpi-mimpi mereka. Sebuah kisah untuk mengenang Susi, Putri, Fauzan dan juga anak-anak lain yang menjadi korban bencana Lumpur Lapindo. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halamannya yang tenggelam bersama 12 desa yang lain dan tinggal di pengungsian. Kini, empat tahun sudah sejak 29 Mei 2006, Lumpur Lapindo telah meneggelamkan berbagai sendi kehidupan masyarakatnya, meninggalkan banyak persoalan termasuk ganti rugi yang masih belum selesai. Sejak mereka pindah dari pengungsian, Saya, Susi, Putri dan Fauzan belum pernah lagi bertemu dan bermain kembali, tapi saya yakin mereka tumbuh dengan tegar dan penuh harapan meraih segala mimpinya.


Kisah ini saya ikutkan sertakan dalam Kontes Blog Bebagi Kisah Sejati oleh Anazkia yang disponsori oleh:  denaihati.com

21 Jejak Yang Tertinggal:

ivan kavalera mengatakan...

Aku pengen banget membacanya jika produser program acara sastra di http://www.rca-fm.com/ mengizinkannya besok, malam senin.

yansDalamJeda mengatakan...

Wah....menjadi sutu penghargaan bagi saya, bila mas ivan berkeinginan membacakan cerita ini di RCA FM, apalagi produsernya mengizinkan.hehehe....
Kalaupun tidak jg ga masalah kok mas. Sudi utk singgah dan membaca di sini adalah sebuah penghargaan tersendiri. Terimakasih mas atas persinggahannya.

Arjuna mengatakan...

salam kawan,,,
wah ceritamu tentang bidadari inspiraitf,,

ya, ketika bidadari langit tlah pergi, langit berubah menjadi gelap...

namun ia pasti kembali..

salam

anazkia mengatakan...

Subhanallah... Mas Yans, sedih.. hiks... hiks....

Subhanallah.. lebih keren ama Mas Ivan.. ayuk, Mas.. bacakan... Anaz dukung...

Linknya udah Anaz kirim ke juri

yansDalamJeda mengatakan...

Terimakasih atas persinggahannya.

@Hdsence; ya, semoga ia akan kembali. membawa mimpi dan harapan mereka.

@anazkia; tq mbak anaz. rasa 'sedih' smpean akan menjadi semangat bg mereka, apalagi senyum, tentu akan lebih membuat mereka bahagia dan terus punya mimpi.

ardi mengatakan...

salam kenal..makasih infonya...blognya bagus

Naila Zulfa mengatakan...

aku sedih baca cerita ini, hiks hiks hiks...
apalagi kalian yang merasakannya,

semoga bidadari itu segera datang kembali,, aminn...

aku dukung mas ivan, semoga kalo beneran bisa dibacain, "mereka" bisa mendengar cerita ini dan tergugah hatinya,

Winny Widyawati mengatakan...

Prihatinku untuk korban bencana Lumpur Lapindo, hakikatnya Tuhan yg mengizinkan bencana ini terjadi agar menjadi "hikmah" untuk kita semua, selalu ada sisi baik bahkan kebaikan yg dahsyat dibalik setiap bencana. Smg bukan cuma penulis yg terbesarkan dg tulisan ini, ttp para korbanpun jg ya, aamiin

catatan kecilku mengatakan...

Yang pertama..., salut banget utk kisah yg telah diurai dg sedemikian indahnya.
Aku terbawa emosi saat membacanya..., betapa perih itu terasa juga olehku.
Sedih banget.... :(

the others.. mengatakan...

Ikutan Berbagi Kisah Sejati ya..? Aku belum berhasil membuatnya... :((
Naskahnya luar biasa... semoga menang ya....

Sohra Rusdi mengatakan...

sebuah kisah nyata yang begitu menyedihkan langit kelam seakan menutupi sidoarjo dan bidadari itu telah diusir oleh malaikat kematian yang seakan menutup harapan para penghuninya, Tuhan itu ada sahabat dan ia akan mendengar doa orang yang dizalimi jadi sebaik-baik penolong hanyalah Dia, ini tulisan layak untuk difilmkan mas , pokoknya nggak ada kata lagi yang bisa menggambarkan bagusnya tulisan ini

Unknown mengatakan...

wah, keren nih. moga menang ya

Qoirina Nur Kamastyaka mengatakan...

waaaa... Mas Yans, great story! I like it... ^.^

Narzis Blog mengatakan...

Uuuuh...jadi berasa sedih bacanya.
Tersentuh banget deh.
Andai aja pemerintah dan pihak Lapindo membaca cerita ini.

Dunia Hape mengatakan...

Waw..salut sama isi postingannya.
Inspiratif dan tepat banget sama sasaran.
Semoga aja "mereka" merasa yah..

TRIMATRA mengatakan...

salut dengan postingannya,,,,selamat di kontes ini.

ica puspita mengatakan...

sungguh saya tidak bisa berkata-kata...

~salam kenal dari saya, Ica Puspita

yansDalamJeda mengatakan...

Pada perjalanannya, Bidadari itupun masuk dalam 25 besar.

http://anazkia.blogspot.com/2010/06/25-naskah-yang-lolos.html

Lumbunghati mengatakan...

selamat atas kemenangannya ya mas

Anazkia mengatakan...

Selamat yah, mas yans :)

jalur pinggir mengatakan...

bidadari itu masih malu2 untuk menampakkan dirinya karena mereka kini tak lagi bersama2...

Posting Komentar

Akhirnya tiba di Ruang Rehat
Ruang bersama untuk saling memberi nafas, dan setiap kata adalah nafas Ruang Jeda