Sebuah pertunjukan pun digelar. Kita duduk dan bersiap-siap melihat atraksi yang menggelikan yang dipertontonkan oleh bintang kocak yang membuat kita terkagum heran sekaligus tertawa terpingkal-pingkal. Banyak yang bilang mereka lucu, apalagi kalau sedang memakai topeng dan beratraksi di depan banyak orang, tak hanya di sebuah panggung sirkus bahkan kalau mau mengamati lebih jeli, atraksi mereka bisa kita saksikan di panggung-panggung jalanan disekitar kita.
Banyak yang bilang mereka adalah saudara tua kita. Kita adalah keturunannya. Seperti sebuah teori yang pernah diungkapkan oleh Darwin, kita hasil evolusi dari mereka. Monyet. Ya, monyet. "Dasar monyet!" saya menggerutu, tentu kita tidak akan pernah setuju dengan teori itu, meski tidak memungkiri penelitian beberapa ilmuwan mengatakan bahwa struktur otak manusia memiliki banyak kesamaan dengan monyet. Itulah barangkali kenapa mereka bisa meniru apa yang dilihatnya, termasuk tingkah kita, manusia.
Ada sebuah motto atau jargon yang berkembang di kalangan mereka. "Monkey see, monkey do", yakni dari melihat langsung berbuat tanpa berpikir panjang. Ia tak pernah tahu apa guna topeng yang ia kenakan saat pertunjukan topeng monyet digelar. Toh ia tak peduli apakah terlihat lebih ganteng atau lebih jelek dengan topeng itu. Tanpa pula berpikir panjang ia meniru tingkah kita dengan bergaya naik sepeda, memakai payung, bersolek memegang kaca, menenteng keranjang seperti hendak belanja ke pasar tanpa peduli itu lucu atau tidak. Toh ia tak pernah tahu kalau kita sedang mentertawakan mereka.
Mereka tetap tak peduli. Tak pernah peduli pemadaman listrik PLN merugikan mereka atau tidak. Tak peduli tetangganya bisa makan atau tidak, mampu membayar biaya sekolah atau tidak. Tak juga peduli terhadap saudaranya yang terpaksa harus mengungsi akibat bencana. Acuh saja meski tontonan Cicak versus Buaya sedang seru-serunya, toh perkara korupsi uang negara bukan urusannya. Mereka tetap sibuk dan asik mencari kutu. Atau jangan-jangan mereka sedang menertawakan kita yang sedang menertawakan mereka?! Meniru tingkah mereka yang semaunya dan tak peduli dengan sekelilingnya. Toh mereka tak pernah malu bertingkah seperti kita.
Meski demikian bukan berarti kita setuju dikatakan monyet. Kalaupun ada yang setuju ya terserah sich. Tidak ada paksaan buat mereka yang menyamakan dirinya dengan meniru tingkah pola saudara tuanya. Jangan pernah menggerutu "mereka bilang saya monyet" kalau tingkah kita lebih mirip seperti mereka, menutup mata, telinga dan hidung. Agaknya menjadi wajar kita mentertawakan diri sendiri dan memandang kekonyolan-kekonyolan yang terjadi di sekeliling kita. Kita masih punya rasa malu untuk menganggap mereka adalah saudara tua dengan meniru tingkah mereka. "Dasar monyet, ga punya malu". Bukankah manusia memiliki akal yang paling berkembang diantara semua makhluk yang ada.
Award dari becce_lawo di atas mengingatkan pada tulisan-tulisannya yang khas memandang sekelililing kita dan tingkah polah mereka yang menganggap manusia, suguhan dengan cara yang berbeda. Pada akhirnya membuat kita tergelitik dan menggerutu, "Dasar kita!".
22 Jejak Yang Tertinggal:
selamat atas awardnya sob...!
Klo di pewayangan itu, sugriwo, anggodo dkk itu sebangsa monyet ya kang? :P
Lagi ngebahas saudara kita yah....???
Selamat atas Awardnya.
wah.. awardnya keren.....
mohon dukungannya sobt untuk gerakan online
HIBAH SEJUTA BUKU ALA BLOGGER
salam sahabat
ehm memang ada ada saja ya..he..he.btw keren juga nuh..thnxs n good luck ya
Saudara kita lagi dibahas ya ? Iya emang bener tuh dia tuh begitu ..Eeeee...kok jadi nggurutu yak...hehe.Selamat award dari saudaranya yah...
selamat ya mas, award keren nih dari Bacce Lawo, blogger gokil from Sengkang, tetangganya Bulukumba he he hhe
cara posting award yang menarik dasar penulis betul-betul kreatif mas
He.....apa betul sang monyet itu acuh. Atau kita saja yang kurang peka menangkap kepekaan monyet itu.....? Pertanyaan ini iseng Yan. Selamat malam sobat.
hehe yah monyet nonton monyet nih ceritanya.
tapi yg menarik tulisan ini diakhiri dengan kata-kata yg tdk saya tebak sebelumnya "Dasar kita"!!!
Kenapa kata "dasar monyet?" bukan dasar yang lainnya?
Mungkin menurut saya itu sudah bawaan dari nenek moyang kita yang suka bilang begitu.
Monyet hidup damai di hutan belantara, sedang kita hidup penuh dengan konflik.
Apakah kita tidak bisa meniru monyet-monyet yang suka bercanda dari pohon ke pohon?
Unuk awardnya bagus sekali dan kapan ya aku dapat award yang bagus begitu?
Bukan Monyet sembarang Monyet.
Salam,
"jejak ke sini".
Sama kang ..Saya juga tidak setuju kang klu teori darwin itu...btw selamat ya atas awardnya
Apatis dong ya!!!
saya sempat berpikir, mungkin di satu waktu terentu, apatisme itu dibutuhkan. ya sebagai relaksasi bagi diri kita sendiri yang selalu terengah mengejar waktu dan capek berbunglon demi zaman
ehem..eheemmm
maksih ya mas awardnya dah di ambil
:)
Monyetnya masih ada??
Selamat sore sobat....
selamat atas awardnya ^^
bener tuh..mengandung filosofi..keren post bro
dapet juga y heheh
pagi, mas
Posting Komentar
Akhirnya tiba di Ruang Rehat
Ruang bersama untuk saling memberi nafas, dan setiap kata adalah nafas Ruang Jeda