Sabtu, 24 Oktober 2009

Mawar Terakhir

Kumbang-kumbang terbang rendah dengan segenap kegagahannya. Menyusuri kebun mawar dengan keberanian melawan arah angin. Mencari sesuatu untuk membuktikan bahwa ia adalah kumbang, bukan kupu-kupu yang suka memamerkan sayap-sayapnya. Harum semerbak wangi bunga membuai indera. Mawar, restu bumi dari dewa-dewi. Untuk sang kumbang yang merebutnya dengan hati.

Tapi kumbang tak pernah peduli. Meski durinya mampu melukai sayap, baginya bukan kumbang kalau tak mampu merayu. Rayuan kumbang adalah mantra. Mawar tahu, tak semua berasal dari dasar hati. Bagi kumbang, toh hati hanyalah duri itu sendiri yang seringkali dianggapnya menghalangi. Hanya menumbuhkan rasa pedih dan sakit hati.

Lain kumbang, tapi ini mawar. Hati baginya adalah suci, yang dianggapnya sebagai anugerah kodrati. Suci. Rasukan prasangka pun dianggap suara alam yang memberikan tanda, seringkali tak tersentuh bahkan tak ternodai oleh sifat-sifat yang dianggap kumbang-i.

Sang mawar tersipu. Tatkala kumbang menyibak tirai dengan mulut manis dari madu perjalannya. Hadiah mawar atas keahlian yang dimilikinya. Menjadi kupu-kupu pun akan rela ia lakukan, meski sesungguhnya ia amat membenci sifatnya. Tarik ulur menjadi strategi handal untuk membolak-balikkan prasangka suci sasarannya. Kumbang yakin, sedikit lagi sang mawar juga akan goyah. Tiap jengkal putiknya akan begitu indah bagi tiap kumbang yang melintas, meski kadang tak sengaja. Mawarpun bangga atas kelopak indahnya. Layak ia pamerkan, meski hanya sekedar menunjukkan bahwa ia memang indah. Mawar lain kalah indah menurutnya. Tapi kumbang agresif, tak ada yang boleh mengganggunya saat ia menikmati kesenangannya.

Mawar. Hatinya tertipu. Melayu meratapi kelopak. Daunnya tak mampu menutupi keindahannya. Durinya tak sanggup menujukkan pada sang kumbang bahwa itu adalah senjata untuk melindungi kelopaknya. Temaram sinar bulan menjadi saksi. Rangkaian kelopaknya yang indah telah jatuh ke bumi.

Sang mawar melunglai mengutuk putik. Menyembunyikan keharuman yang terpetik sebelum mengembang. Ia baru saja menyadari, kelopak madunya adalah harga diri dan kehormatannya. Apalagi yang musti dijaga selain harga diri dan kehormatannya, sementara ia baru saja mengabaikannya?! Apalagi yang mampu ia berikan setelah penyesalan?! Mawar memegang erat batang yang telah menopang keanggunannya. dan terus berharap menjadi  mawar terakhir yang merasa kalah, sembari mempertanyakan keharuman yang ia relakan pada sebuah keadaan yang tak kuasa ia genggam. Isak tangisnya mengiringi kepergian sang kumbang. Sementara deritanya menjadi cerita penghias kehidupan melengkapi cerita mawar-mawar lainnya dalam ruang yang berbeda.

20 Jejak Yang Tertinggal:

Anonim mengatakan...

Disaat menjadi mawar aku bangga ,kumbang menghampiri ,menghisapku,mempersatukan manisnya madu kehidupan,tapi akh...kumbang menghampiri mawar lainnya ,walau kumbang masih selalu menghampiri ,tapi saat ini kelopak ku sudah berguguran ,karena tersibak angin waktu kehidupan ,batangpun tak sanggup menopang lagi ,kerapuhan hatiku sudah mematikan aku sebagai mawar yang indah...kini aku hanyalah sebuah nama saja tanpa berbntuk bunga lagi yg indah...

FATAMORGANA mengatakan...

metafora tentang sang mawar yang indah disudut pagi ruang jedah.

ellysuryani mengatakan...

Dan mawar tetaplah mawar. Tetumbuhan kecil dengan bunga harum dan berduri. Meski bagi sebagian orang dia bukan mawar yang dulu lagi. Kesucian mawar yang terbungkus selaput tipis itu, mari jaga buat sang kumbang yang sesungguhnya. Bila tidak, dia tetap mawar. Hanya saja, ia mawar yang harus bangkit dari kesalahan untuk berani menatap ke depan bahwa hidup itu berharga dan tak layak untuk ditangisi. Ayo bangkit mawar (untuk sang mawar anonim di atas. Selamat pagi Yans, maaf hanya meraba-raba makna postingan ini.

none mengatakan...

deskripsi syair yang menyentuh, sarat akan emosi
*plus sukses bikin henny emosi setelah baca ini*

Unknown mengatakan...

prosa yg indah, seindah mawar merah.

re-saintazkiya mengatakan...

Kasihan mawar, selalu jadi korban.
Lebih kasihan kumbang pasti disalah-salahin deh, kan dianya cari makan bukannya mendua, hehehe just for laugh

NURA mengatakan...

salam sobat
walau mawar berduri dan dapat menyakiti,,,tetapi
tetap saja disakiti,,,
sudah nasib mawar.

Yunna mengatakan...

mawar akan selalu jadi mawar. tetap[ tegak dan cantik sampai akhir...

Nirmana mengatakan...

mawar yang malang,,, semoga tak semua mawar bernasib sama. juga tak semua kumbang punya sifat yang sama. semogaaa

Clara mengatakan...

puitis banget tulisannya...keren...

Sohra Rusdi mengatakan...

Nggak ngerti sastra tingkat tinggi mas, yg jelas bgs sekali

Rumah Ide dan Cerita mengatakan...

Walau begitu sebenarnya mawar dan kumbang kan saling membutuhkan.
Nice posting Bung Hans.

sda mengatakan...

gak sampai hatiku menyentuh kata-katanya....
tulisannya susah ditelaah...hehe...

Halaman Putih mengatakan...

Bunga mawarnya cantik sekali. Meskipun berduri, namun kalau kita berhati-hati tentu tak bakalan tertusuk durinya.

perahu kertas mengatakan...

semoga tak ada mawar-mawar lain lagi yang terpaksa harus menyesali kelopak indah nya yang terpaksa jatuh ke bumi.

Bahauddin Amyasi mengatakan...

Metaforika mawar yang menawan. Sarat hikmah. Dan tentunya semangat pembelajaran..

Salam kenal...

annie mengatakan...

Begitulah hidup mawar, bila hanya bangga akan kelopaknya semata, tak sadar ada keharuman yang tak dapat tersentuh tangan. Sebuah metafora yang pas, sobat.

YAYAN mengatakan...

aduh "gelap" tuturnya.. tp moga tetep ada smangatnya ya seeeepppp

buwel mengatakan...

pengibaratan yang mantab, tajam..

Rini Intama mengatakan...

mawar indah itu merah, tapi berduri
lihat saja kelopak nya mempesona bergairah
tapi sebentar saja akan rontok terbawa musim dan angin...

maka ia hanya kusematkan saja, lalu kutanam edelweis dihatimu..
edleweis memang tak seindah mawar !

Posting Komentar

Akhirnya tiba di Ruang Rehat
Ruang bersama untuk saling memberi nafas, dan setiap kata adalah nafas Ruang Jeda