Tiga tahun lebih sejak 29 Mei 2006, lumpur Lapindo telah menggenangi kehidupan warga Sidoarjo, Jawa Timur yang merupakan tanah kelahiran saya. Hingga saat ini lumpur itu terus meluap hingga menenggelamkan 12 desa/kelurahan yakni Siring, Jatirejo, Mindi, Renokenongo, Kedungbendo, Gempolsari, Kedungcangkring, Pejarakan, Besuki, Gempolsaari, Glagaharum, Ketapang, dan Kalitengah. Desa-desa itu, bahkan pusat semburan lumpurnya tak jauh dari desa yang saya tinggali. Hanya beberapa kilometer jaraknya.
Sementara semburan lumpur terus meluas, hingga saat ini belum ada cara pasti untuk dapat menghentikannya.
Berbagai dampak pun tak dapat dihindari, baik dari segi semburan lumpur itu sendiri maupun dampak sosial, ekonomi yang ditimbulkannya. Hingga saat ini hampir semua tidak mampu ditangani dengan baik, oleh Pemerintah maupun oleh Lapindo sendiri. Tak pasti apa yang menjadi penyebab lumpur panas itu keluar, dua hari sejak gempa di Jogja terjadi 27 Juni 2006. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter itu dituding sebagai penyebab pergeseran tanah hingga mengeluarkan lumpur panas dari bawah permukaan bumi. Berbagai teori seolah beradu, apakah bencana alam atau kesalahan Lapindo dalam proses pengeboran. Masing-masing teori mencari pembenaran dengan berbagai kepentingan. Yang pasti, semburan lumpur itu muncul persis di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Lokasinya hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas.
Sejak saat itulah ribuan orang kehilangan rumah sebagai tempat tinggalnya, kehilangan sawah dan pabrik sebagai tempat mereka bekerja. Tanah kelahiran dan segenap sejarah nenek moyangnya seolah hilang seiring lumpur yang menggenanginya. Ribuan dari mereka saat ini menjalani nasib yang serba tak pasti, oleh banyaknya aturan yang berubah, yang juga oleh Lapindo tak ditepati. Skema pembayaran ganti rugi misalnya. Jika awalnya Lapindo berjanji membayar dengan cara mencicil Rp30 juta setiap bulan, belakangan berubah menjadi Rp15 juta. Kesepakatan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mekanisme seperti di peraturan presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang mengatur perlunasan 20 persen dibayar secara tunai dan sisanya 80 persen dibayar paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak dua tahun habis.
Apapun alasannya, harapan mereka agar Lapindo menyelesaikan tanggung jawabnya terhadap bencana ini dan Pemerintah harus mengawal serta menindak jika terdapat kelalaian dalam menjalankan kasus ini agar persoalan lumpur Lapindo dapat tertangani dengan lebih adil. Harapan itu semoga tak semakin suram seiring dilantiknya pemerintahan dan kabinet baru. Semoga.........
19 Jejak Yang Tertinggal:
Dan kini hanya harapan yang mereka punya
Pada tangan-tangan pahlawan berdasi
semoga tragedi lumpur lapindo bisa segera berakhir. jangan sampai hal tersebut menyebar dan menjadi bencana berkelanjutan
Semoga saja pemerintahan yang baru mempunyai kepedulian yang lebih terhadap tragedi ini....
masalah lama belum terselesaikan, sekarang lagi gencar2nya gaji menteri yang dinaikkan.. sungguh ironis..
semoga...
Ya, semoga tak bersisa lagi, lumpurnya. Semoga harapan masih terus menggeliat. Nice post.
Semoga segera berakhir bencana yg memilukan ini,dan..untuk yang terkena musibah selalu diberi kekeutan dan ketabahan amin...
Kasihan rakyat yang masih bertahan hidup di tenda. Semoga pihak2 yang bertanggung jawab dapat segera menyelesaikan maslah ini.
Salam,
HALAMAN PUTIH
@all; tks telah singgah di sini. hanya ingin sedikit berbagi kabar dari tanah kelahiran, tanpa bermaksud ingin membagi kepiluan. Toh, hampir semua media massa memberitakannya. Banyak yang sesuai fakta, banyak pula yang mengada-ada. Meskipun saya bukan korban, tapi dampak akibat bencana ini amat terasa bagi kami yang di Sidoarjo. Do'a dan semangat dari sahabat semoga menumbuhkan gairah untuk mewujudkan masyarakat korban lumpur mengembalikan hidup mereka yang lebih baik.
Tks.
Aku saja yang ndak ngalami rasanya ikut capeeek nunggu kapan ada penyelesaian yang berpihak pada masyarakat yang dirugikan.
Mungkin ndak ya, harapan kita terkabul?
Ini adalah kenyataan sangat pahit yang harus dialami saudara2 kita di sana. Semoga harapan akan masa depan yang lebih baik bisa terwujud...
ah... rasanya selalu miris membayangkan kejadian itu beserta segala dampak yang ditimbulkannya... sementara yang di 'atas' enak-enakan mencari cara biar tidak dipersalahkan dan bisa terus menikmati kekayaan, yang menjadi korban justru semakin sengsara... segala harta lenyap dan tak tahu mesti menuntut kepada siapa... betapa gambaran suram untuk orang-orang kecil di negeri ini...
Banyak kenyataan yang tidak terungkap dari bencana ini. Seolah tabu untuk ditelisik lebih jauh. Kekuasaan mampu menutup apa yang seharusnya dibuka. Tidak dipungkiri bahwa ada yang menganggap bencana ini sekaligus membawa berkah. Ini memang yang lebih banyak diungkap. Harapan lain yang merupakan kegagalan penanganan banyak ditutupi.
Tks atas sharingnya.
yah.. Lapindo memang menambah deretan bencana di negeri ini.. semoga kecerobohan semacam ini tidak pernah terjadi lagi..
Lapindo...lumpur peradaban yg melambangkan coreng moreng wajah kita sendiri. Betapa ciutnya kekuasaan di bawah ketiak pemegang kendali gurita bisnis di negeri ini.
Banyak cerita pilu, dari perjalan mereka. Juga ada yang bahagia. Lain waktu akan saya tulis sedikit cerita dari tanah kelahiran saya.
berita ini seolah tertutup dengan berita2 baru...
semoga segera ada penanganan serius dari pihak terkait maupun pemerintah. sudah 3 tahun lebih...
aku juga hampir lupa karena di yogya sekarang (pasca gempa) mulai mulai menggeliat lagi, ah ternyata saudaraku yg disana belum selesai permasalahannya ya?
semoga diberikan ketabahan, kekuatan menghadapi bencana ini.
Semoga aja dengan KIB jilid II ini masalahnya akan segera teratasi.. kita lihat aja kinerja 100 hari pertamanya
Posting Komentar
Akhirnya tiba di Ruang Rehat
Ruang bersama untuk saling memberi nafas, dan setiap kata adalah nafas Ruang Jeda